Sabtu, 27 Agustus 2011
N U R A N I: Penyesalan...
N U R A N I: Penyesalan...: Dari Fahmi di Jawa Timur Assalamu ‘alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh Pendengar Nurani yang budiman P...
Rabu, 24 Agustus 2011
Itikaf
﴿ الاعتكاف﴾
« باللغة الإندونيسية »
محمد بن شامي مطاعن شيبة
ترجمة: أحمد زووي
مراجعة: إيكو هاريانتو أبو زياد
2010 - 1431
I'tikaf
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada nabi yang tiada lagi nabi sesudahnya, Nabi kita Muhammad dan semoga tetap tercurah kepada keluarganya, para Sahabat, dan orang-orang yang mengikuti petunjuknya sampai hari kiamat.
Wahai kaum muslimin.. sesungguhnya I’tikaf termasuk ibadah yang dilakukan pada bulan Ramadhan, berusahalah untuk dapat beri'tikaf walaupun hanya sebentar. I’tikaf yaitu berdiam diri di masjid karena ketaatan kepada Allah.
• I’tikaf yang paling utama yaitu pada sepuluh hari terakhir Ramadhan sampai wafat. Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anha bahwa:
(( كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ ))
“Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam selalu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri-istri beliau beri’tikaf sepeninggalnya” (HR Bukhari).
• Jika seseorang terlewatkan dari I’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, maka I’tikaflah pada sepuluh hari di bulan syawal. Karena dalam suatu hadits:
(( أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلَمَّا انْصَرَفَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ إِذَا أَخْبِيَةٌ خِبَاءُ عَائِشَةَ وَخِبَاءُ حَفْصَةَ وَخِبَاءُ زَيْنَبَ فَقَالَ أَالْبِرَّ تَقُولُونَ بِهِنَّ ثُمَّ انْصَرَفَ فَلَمْ يَعْتَكِفْ حَتَّى اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ ))
“Rasulullah
hendak I’tikaf. Ketika beliau beranjak menuju ke tempat I’tikaf , maka (ketika itu) beliau melihat kemah-kemah ‘Aisyah, Hafshah dan Zainab,’ maka Rasulullah
bersabda, ‘ Apakah mereka (para wanita itu) benar-benar menginginkan kebaikan dengan perbuatan ini? Maka beliau kembali dan tidak jadi melakukan I’tikaf di bulan Ramadhan sehingga beliau beri’tikaf 10 hari di bulan Syawal.” (HR Bukhari)
Dalam lafadz lain:
(( فَلَمْ يَعْتَكِفْ فِي رَمَضَانَ حَتَّى اعْتَكَفَ فِي آخِرِ الْعَشْرِ مِنْ شَوَّالٍ ))
“Rasulullah tidak jadi berI’tikaf di bulan Ramadhan sehingga beliau melakukan I’tikaf 10 hari terakhir bulan Syawal” (HR. Bukhari)
Dan dalam lafaz Muslim:
(( حَتَّى اعْتَكَفَ فِي الْعَشْرِ اْلأَوَّلِ مِنْ شَوَّالٍ ))
“Sehingga beliau ber’itikaf di 10 hari pertama bulan Syawwal” (HR. Muslim)
Jika seorang muslim telah tua dan ajalnya telah dekat (wallahu a’lam), I’tikaflah dua puluh hari, karena dalam hadits:
(( كَانَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا ))
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”. (HR Bukhari).
• Tidak disyaratkan puasa sebagai syarat sahnya i’tikaf, karena dalam suatu hadits:
(( اِعْتَكَفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الحْرَامِ لمِاَ نَذَرَ ذَلِكَ ))
“Umar beri’tikaf pada malam hari di masjidil haram ketika beliau bernadzar” (HR Bukhari)
Sedangkan malam bukan waktunya berpuasa, dan dalam suatu hadits:
(( اِعْتَكَفَ عَشْراً مِنْ شَوَّال ))
“Nabi beri’tikaf pada sepuluh hari syawal.” (HR. Bukhari)
• I’tikaf tidak memiliki ketentuan waktu, sebentar ataupun lama tetap sah. Orang yang beri’tikaf dilarang keluar dari masjid kecuali untuk hal-hal yang mengharuskan ia keluar seperti makan, buang hajat, dan semisalnya. Aisyah berkata:
(( كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلاَّ لِحَاجَةِ اْلإِنْسَانِ ))
“Nabi jika beri’tikaf mengeluarkan kepalanya kepada saya lalu saya sisir rambutnya, dan beliau tidak keluar kecuali untuk hajat (kebutuhan).” (HR Abu Daud)
Dan tidak ada syarat tertentu bagi yang ingin keluar, akan tetapi disahkan keluar masjid untuk ketaatan kepada Allah yang tidak wajib, seperti menjenguk orang sakit, dan menyaksikan jenazah, tetapi jangan sampai keluar itu menghabiskan waktu I’tikaf, itu hanya sebuah kemudahan.
• I’tikaf tidak sah kecuali di masjid, berdasarkan firman Allah ta’ala :
قال الله تعالى: ﴿ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ﴾
“sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”. (QS. Al-Baqarah 187).
• Jika seseorang ingin ber’itikaf maka disunnahkan untuk mulai ber’itikaf setelah sholat subuh. Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anha bahwa:
(( كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ ))
“Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bila hendak beri’tikaf, beliau sholat Shubuh kemudian masuk ke tempat i’tikafnya”. (HR Muslim).
Diharamkan bagi orang yang beri’tikaf untuk melakukan jima’, atau bercumbu rayu, berdasarkan firman Allah ta’ala:
قال الله تعالى: ﴿ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ﴾
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al Baqarah: 187).
• Hendaknya orang yang beri’tikaf menghabiskan waktu untuk ketaatan, shalat (kecuali pada waktu yang terlarang), menyibukkan diri dengan membaca al-qur’an, dzikir kepada Allah, dan setiap amal yang mendekatkan diri kepada Allah yang dapat dilakukan di masjid serta tidak membuang-buang waktunya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
• Dibolehkan untuk mengunjungi orang yang beri’tikaf, dan berbincang-bincang dengan mereka dengan syarat tidak membuang-buang waktu I’tikafnya. Dari Shofiyah binti Huyaiy, beliau berkata:
(( كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعْتَكِفًا فَأَتَيْتُهُ أَزُورُهُ لَيْلاً فَحَدَّثْتُهُ ثُمَّ قُمْتُ فَانْقَلَبْتُ فَقَامَ مَعِي لِيَقْلِبَنِي ))
”Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang beri’tikaf, lalu aku datang menziarahinya pada satu malam. Saya berbicara kepada beliau, lalu bangkit untuk pulang. Kamudian beliau bangkit untuk mengantarkanku. (HR Bukhari).
Wahai kaum muslimin… Jika I’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan bukanlah hal yang mudah untukmu, atau dengan waktu yang lebih lama, maka berusahalah untuk beri’tikaf walaupun hanya satu atau dua jam, atau sepanjang waktumu di masjid, dan sibukkan dirimu pada waktu itu dengan hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Allah berfirman :
قال الله تعالى: ﴿ فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ ﴾
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah sesuai kemampuanmu” (QS. At Taghabun 16).
sumber : http://www.islamhouse.com
Hukum shalat wajib di belakang orang sholat sunnah
Pertanyaan 1: Apabila saya shalat tahiyatul masjid atau shalat sunnah, datang seseorang yang mengira saya sedang shalat fardhu dan masuk bersama saya dalam shalat, apakah hukumnya dan apa yang harus saya lakukan?
Jawaban 1: Menurut pendapat para ulama yang paling kuat, makmum yang shalat fardhu boleh mengikuti imam yang shalat sunnah dan boleh menjadi makmum dengan seseorang yang takbiratul ihram sendirian. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu. datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang shalat sendirian di malam hari, lalu ia berdiri di sebelah kiri maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memindahnya ke sebelah kanan dan shalat dengannya.[1]
Dan diriwayatkan pula bahwa Mu’adz radhiyallahu ‘anhu shalat Isya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (di masjid Nabawi), kemudian ia pergi lalu melaksanakan shalat tersebut (sebagai imam) dengan kaumnya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari hal itu.[2]
Dan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat khauf bersama segolongan sahabatnya dua rekaat, kemudian salam bersama mereka. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama golongan yang lain dua rekaat lalu shalat bersama mereka.[3] Diriwayatkan oleh Abu Daud, dan shalat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kedua adalah shalat sunnah.
Wabillahit taufiq, semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmu Dan Fatwa 7/401.
Pertanyaan 2: Apa yang harus dilakukan seseorang yang masuk masjid melihat seseorang yang shalat secara pelan. Dia tidak tahu, apakah orang tersebut shalat sunnah atau fardhu? Dan apakah yang harus dilakukan seseorang yang sedang shalat di masjid, apakah ia memberi isyarat kepadanya untuk ikut shalat bersamanya di dalam shalat apabila ia shalat fardhu atau mengusirnya bila ia sedang shalat sunnah?
Jawaban 2: Menurut pendapat yang shahih bahwa tidak mengapa berbeda niat imam dan makmum, dan sesungguhnya boleh bagi seseorang yang shalat fardhu menjadi makmum di belakang imam yang shalat sunnah, sebagaimana Mu’adz radhiyallahu ‘anhu melakukan hal itu di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya ia shalat Isya bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia pulang kepada kaumnya lalu melaksanakan shalat tersebut bersama mereka (sebagai imam). Ia adalah shalat sunnah baginya dan shalat wajib bagi mereka.
Apabila seseorang masuk masjid dan engkau sedang shalat fardhu atau sunnah, lalu ia berdiri bersamamu agar kamu berdua shalat berjamaah maka tidak mengapa. Engkau tidak perlu memberi isyarat kepadanya agar tidak masuk. Maka ia ikut shalat bersamamu dan shalat apa yang ia dapatkan bersamamu. Setelah selesai shalatmu, ia berdiri lalu menyelesaikan yang tertinggal, sama saja engkau shalat sunnah atau fardhu.[4]
Syaikh Muhammad al-Utsaimin – Mukhtaar min Fatawa Shalat hal 66-67.
[3] HR. Ahmad 5/49, Abu Daud 1248, an-Nasa`i 1551, 1552, Ibnu Khuzaimah 1353 dan yang lainnya. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud 1112.
[4] Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga berfatwa yang serupa pada edisi 1033 dari majalah Dakdah, demikian pula syaikh Abdullah bin Jibrin dalam al-Lu’luul Makin’ hal. 113.
sumber : islamhouse.com
Selasa, 23 Agustus 2011
fatwa-fatwa kontemporer...
beberapa fatwa kontemporer dari Dr. yusuf qardhawi tentang permasalahan fiqih sehari-hari dapat di download lwt link di bawah ini...insyaALLAh bermanfaat..amin
http://www.4shared.com/document/36WrkGP3/Fatwa-Fatwa_Kontemporer_-Dr_Yu.html
http://www.4shared.com/document/36WrkGP3/Fatwa-Fatwa_Kontemporer_-Dr_Yu.html
Langganan:
Komentar (Atom)